Sabtu, 10 Januari 2009

Selasa, 25 November 2008, menjelang pukul 4 sore. Langit cerah dan cuaca panas perlahan berubah menjadi mendung saat aku hadir di pemakaman itu. Perlahan-lahan sosok kaku berbalut kafan diturunkan menuju tempat peristirahatannya yang terakhir. Isak tangis perlahan, suasana haru dan sunyi menyelimuti pemakaman. Suara azan dilafazkan dan doa-doa dipanjatkan memohon keridhaan Sang Pencipta untuk menerima jiwa yang telah terbebas dari raganya.Inilah pertama kalinya aku kembali menghadiri sebuah pemakaman setelah bertahun-tahun yang lalu. Sejujurnya, ada perasaan takut, yang mungkin tidak beralasan, untuk bisa tetap tinggal hingga ritual pemakaman berakhir. Berulangkali aku hanya datang pada saat acara takziyah atau sebelum mayit dikuburkan. Namun hari ini, walaupun mungkin awalnya tidak direncanakan, aku mengantarkan sang jasad kepada tempatnya kembali. Suara azan dilafazkan, doa-doa dipanjatkan, isak tangis mengiringi kepergian. Tiba-tiba aku terhenyak dan tersadar bahwa di hadapanku saat ini, terhampar kenyataan hidup hakiki seorang anak manusia. Terlahir ke dunia, menjalani kehidupannya yang berwarna, untuk kemudian kembali pada-Nya. Tidak lebih dan tidak kurang. Tidak ada harta yang dibawa, rekan, teman, kerabat, jabatan, pangkat, kehormatan, gelar dan semuanya akan ditinggalkan begitu saja. Langit di atas masih berwarna kelabu ketika perlahan-lahan tubuh kaku itu ditimbun tanah. Perlahan sekali namun pasti, ada kesadaran yang mengalir pelan di urat nadi dan detak jantung. Kesadaran akan hakikat hidup sebenarnya dan esensi dari keberadaan manusia. Kenyataan tak terelakkan dan tak bisa ditawar-tawar tentang hidup dan kehidupan. Kenyataan pada akhirnya kita harus kembali, tak peduli apa yang telah kita capai dan setinggi apapun derajat kita di mata manusia dan seberkuasa apapun Kita. Kenyataan bahwa pada dasarnya Kita adalah makhluk yang lemah dan sendirian, dan tidak akan pernah bisa mengelak dari kematian.Aku menarik nafas dalam-dalam, menghela sesak yang tiba-tiba datang. Sebagai manusia, apa yang sudah kupersiapkan untuk menjelang kematian yang sewaktu-waktu bisa saja datang? Akankah keberadaanku sebagai manusia harus selesai begitu saja ketika maut datang menjelang? Akankah rekam jejak hidupku hanya akan penuh dengan hal-hal remeh-temeh tentang kehidupan sehingga membuatku mungkin tidak pantas untuk dikenang? Tubuhku bergetar mengingatnya karena sejauh ini mungkin hal itulah yang kulakukan.

Tuhan, bantu Aku untuk terus mengerti dan memahami hakikat hidup ini. Tuhan, Bantu aku untuk meletakkan dunia di tanganku dan bukan di hatiku. Tuhan, bantu aku untuk selalu ikhlas, apapun yang terjadi, seburuk apa pun kejadian yang kualami. Tuhan, Bantu aku agar terus dapat memberi dan berbagi dan tidak hanya memikirkan diri sendiri. Amin ya Rabbal Alamin…

Nasionalisme yang Lain

Menjelang perayaan hari kemerdekaan kita, saya ingin berefleksi sedikit tentang makna kemerdekaan dan kembali mempertanyakan apakah kita sudah benar-benar merdeka?Refleksi ini mungkin akan saya awali dengan cerita tentang seorang teman yang baru saja menyekolahkan anaknya.

Sebagaimana layaknya ibu-ibu yang memiliki batita/balita, informasi tentang sekolah merupakan salah satu informasi berharga buat saya.Diawali dengan basa-basi menanyakan seputar kabar, ngobrol pun berlanjut ke pertanyaan tentang sekolah anaknya yang merupakan salah satu sekolah swasta terbaik yang ada di depok. Menurut sang teman,meskipun sebenarnya tidak terlalu puas, tapi sejauh ini semuanya oke-oke saja.

Komentar tersebut kemudian dilanjutkan dengan pernyataan sang teman yang kemudian menjadi bahan renungan saya, "tapi you knowlah Put, sejauh ini sekolah itulah yang terbaik di depok. Di depok kan nggak ada sekolah yang benar-benar national plus atau international gitu, jadi gue gak punya pilihan lain. Sebenarnya kalo di depok ada sekolah yang lebih berstandar international seperti highscope atau Cibun gitu, gue lebih milih nyekolahin di situ. Anak guekan masih kecil, jadi kasihan kalo musti sekolah jauh-jauh.Ntar kalo dia SD, mungkin gue akan masukin Cibun".

Saya sedikit terdiam mendengarkan pernyataan teman tersebut dan kemudian mencoba mencari tahu kenapa sebenarnya dia sangat ingin menyekolahkan anaknya di sekolah yang ada kata internationalnya atau national plus (yang menurut dia yang benar-benar national plus bukan cuma embel-embel). Kualitas, itu alasan utamanya, yang diukur dari metode pengajaran yang berbeda dengan sekolah biasa dan dua bahasa.

Sampai di sini saya kemudian merenung kembali. Hal ihwal sekolah dua bahasa ini sebenarnya sudah lama menarik perhatian saya dan sedikit mengusik nasionalisme saya. Dulu, seorang teman yang lain pernah bercerita bahwa salah satu sekolah berstandar internasional (bukan sekolah internasional) di kawasan Kelapa Gading hanya menjadikan bahasa Indonesia sebagai salah satu mata pelajarannya saja, bahasa pengantar sehari-hari yang digunakan adalah bahasa Inggris. Waktu itu saya berseloroh, wah kalau gitu harusnya sekolahnya jangan di Indonesia dong, kan bahasa Indonesia cuma mata pelajaran saja.

Saya tidak tahu dan mungkin juga sedikit bodoh tentang hal ini, namun cerita teman ini membuat saya bertanya-tanya, apakah ada negeri lain selain negeri kita yang menjadikan bahasa ibunya sebagai salah satu mata pelajaran saja dan bukan bahasa pengantar sehari-hari yang digunakan? Salah satu mata pelajaran saja itu bisa berarti 60 menit dalam seminggu atau 2×60 menit dalam seminggu. Negeri mana yang begitu tidak bisa menghargai bahasa sendiri selain negara kita?

Lain waktu ketika saya sedang berjalan-jalan dengan keluarga, saya kembali terusik dengan pernyataan besar-besar pada sebuah baliho kursus bahasa, kunci sukses adalah matematika dan bahasa Inggris. Saya merasa terganggu sekali dengan pernyataan tersebut dan ingin bertanya secara langsung kepada pembuat pernyataan itu, dalil apa gerangan yang digunakan untuk membuat suatu pernyataan yang menurut saya norak betul.

Bahasa merupakan representasi suatu bangsa, merupakan salah satu identitas yang dimiliki sekelompok orang yang menyatukan dirinya pada apa yang disebut negara. Bahasa menurut saya pribadi adalah pengikat saya dengan kenangan masa kecil saya, pada hal-hal yang saya cintai. Bahasa menjadi oase yang memiliki energi penyembuh ketika saya rindu pada kampung halaman. Lebih dari segala-galanya, bahasa adalah identitas saya.

Karena merupakan identitas, bahasa kemudian bukanlah perkara yang sederhana menurut saya. Identitas seseorang merupakan salah satu patokan awal yang digunakan oleh orang lain untuk berinteraksi dengan orang tersebut. Lebih dari itu, identitas juga menunjukkan siapa diri kita dan bagaimana kita berpikir dan bertindak. identitas membentuk persepsi kita tentang diri kita sendiri yang mempengaruhi penghargaan terhadap diri.Ketika bahasa merupakan identitas yang berharga, pertanyaan saya kemudian adalah maukah kita menukar identitas itu dengan yang lain? Maukah kita menjelma menjadi orang lain dengan menukar identitas diri? Sebegitu buruknyakah kita sehingga merasa perlu untuk berganti identitas?

Saya menyadari sepenuhnya, krisis yang bertubi-tubi yang terjadi di Indonesia mungkin membuat kita seolah hilang harapan dan malu menjadi bangsa Indonesia. Bangsa kita yang jauh tertinggal bahkan dibandingkan dengan negara tetangga yang hobi merampas apa yang kita miliki, membuat kita tidak bisa mendongak dan merasa sejajar dengan yang lain. Krisis dan kegagalan demi kegagalan membuat kita merasa tidak ada lagi yang bisa dibanggakan dari bangsa ini, tidak ada lagi yang baik, yang ada hanya kejelekan semata.Benarkah demikian? Sungguhkah benar-benar demikian?

Ketika saya membaca sebuah artikel di nakita yang memuat pernyataan seorang psikolog bahwa pemikiran Maria Montessori, sang tokoh penggagas Metode Montessori yang digandrungi banyak kalangan pendidikan, sebenarnya filosofinya hampir mirip dengan apa yang dicanangkan Ki Hajar Dewantara dan Pak Kasur. Saya bertanya-tanya. Pertanyaan ini kemudian mendorong saya untuk mencari tahu lebih banyak tentang konsep pendidikan yang ditawarkan Ki Hajar Dewantara, selain tut wuri handayani, dan Pak Kasur sebenarnya? Hasilnya, filosofi dasarnya memang sama. Mereka (Maria Montessori, Ki Hajar Dewantara dan Pak Kasur) menawarkan pemikiran yang sama : perlakukan anak sebagai seorang individu, biarkan mereka belajar dengan caranya, tugas guru hanya memfasilitasi saja. Selain itu, pemikiran bahwa anak tidak bisa dilepaskan dari lingkungan sosial yang ada di sekitarnya dan mendidik itu bukan hanya soal kognitif belaka, telah lama didengungkan oleh Ki Hajar Dewantara.Kalau sudah begini, masih malukah kita?

Kembali kepada perkara sekolah dua bahasa dan berstandar atau berkurikulum internasional tadi. Saya kemudian juga sempat bertanya-tanya, ketika seorang anak disekolahkan di sekolah yang sebagian besar percakapannya menggunakan bahasa Inggris dan kemudian di rumah pun menggunakan bahasa Inggris meskipun campur aduk, pertanyaan kemudian adalah identitas seperti apa yang sedang dibentuk sang anak? Saya merupakan anak Indonesia atau saya anak Indonesia yang kurang lancar berbahasa Indonesia dan lebih fasih berbahasa asing? Kalau begitu, siapa saya sebenarnya, orang asing atau orang Indonesia?

Memang seringkali terdengar lebih keren ketika seseorang lancar berbahasa asing atau bicara dengan bahasa campur sari. Saya sendiri pun dan mungkin hingga sekarang berbicara dengan bahasa yang terkadang tercampur-campur. Namun, jika seorang anak yang dari sejak dini terbiasa lebih sering menggunakan bahasa asing dalam kehidupan sehari-hari dan kemudian lebih sering berinteraksi dengan orang lain dengan bahasa yang sama, kira-kira gambaran generasi seperti apakah yang akan tercipta?

Ketika kemudian kenyataan juga menunjukkan bahwa kecenderungan penggunaan bahasa asing ini ada di masyarakat di kelas sosial menengah-atas, mereka yang umumnya berpendidikan bagus dan berpenghasilan bagus dan mungkin jumlahnya hanya 10 % bangsa ini, dan mereka juga akan cenderung berinteraksi dengan sesama mereka, maka gambaran generasi apa yang kira-kira yang ada?

Ketika kemudian bahasa ternyata sangat berkaitan erat dengan kultur dan gaya hidup, maka bocah-bocah yang terbiasa berbicara dengan bahasa asing seringkali lebih sering berinteraksi dengan bocah-bocah lain yang memiliki gaya hidup yang sama, manusia Indonesia macam apa yang akan ada di depan kita?

Mungkin saya terlalu skeptis ketika saya menyatakan, saya takut bocah-bocah ini nanti akan berkembang menjadi pribadi elitis yang hanya bergaul dengan segelintir orang dengan latar belakang yang sama dan sama sekali tidak lancar berbahasa Indonesia dan tidak paham budaya Indonesia. Mungkin saya terlalu paranoid jika saya takut bocah-bocah ini akan berkembang menjadi generasi yang hilang, mereka yang memiliki 90% kekayaan negeri ini, cerdas, pintar, sehat dan cantik, potensi yang besar untuk bangsa Indonesia, namun tercerabut dengan akarnya. Tidak tahu ada berapa provinsi diIndonesia, tidak tahu siapa itu Soekarno-Hatta, tidak tahu bahwa bendera Indonesia adalah bendera merah putih dan tidak kenal apa itu gotong royong. Memikirkannya membuat saya menjadi sangat sedih sekali.

Kesedihan saya semakin bertambah ketika saya melihat artikel di Koran tentang bocah-bocah yang terkena busung lapar, morat-marit pendidikan kita dan karut marutnya situasi politik. Mereka yang punya potensi besar untuk memperbaiki negeri dengan segala kesempatan yang Tuhan berikan padanya, mungkin suatu hari nanti karena pola pikir yang ditanamkan sejak kecil dan tidak adanya keterikatan yang mendalam (toh bahasa dan pergaulannya mendunia) memilih hengkang dan menjadi bagian dari negara lain.

Tinggallah negeri kita diisi oleh generasi-generasi yang karena ketololan pemerintahnya dalam membentuk sistem pendidikan (meninggalkan filosofi pendidikan sang Bapak Pendidikan dalam sistem pendidikan), menjadi warga dunia kelas dua (bahkan mungkin tiga) dan tetap berstatus bukan apa-apa di mata dunia.

Saya sesungguhnya, sangat benci untuk berpikir seperti ini, namun ketika membaca kembali artikel nakita tentang alasan mengapa orang tua menyekolahkan anaknya, ketakutan saya seperti nyata. Dalam artikel tersebut seorang ibu mengatakan dengan jelas bahwa dia memilih sekolah berstandar internasional bagi anaknya agar sang anak memiliki pergaulan internasional dan berinteraksi dengan teman-teman dengan latar belakang yang sama. Ibu tersebut sama sekali tidak keberatan jika anaknya pindah kewarganegaraan dan tidak mau lagi pulang ke Indonesia. Baginya negeri ini sudah tidak pantas lagi diharapkan karena tidak lagi bisa menjanjikan apa-apa. Kalau begitu, untuk apa para pahlawan kita dulu berjuang angkat senjata demi mengusir penjajah dari bumi Indonesia ini jika kemudian kita, generasi sesudahnya sangat malu menjadi bangsa Indonesia dan memilih hengkang daripada berusaha membenahinya.